CORETAN-CORETAN
DUNGU
Karya
: Aku
Edisi
1
Sumenep, Jumat 27 Mei
2011, 06:00 wib.
Matahari yang baru
beberapa detik membuka matanya, memperlihatkan sinar kuning kusam menerobos
tirai-tirai dan bilik kubukku, laksana air yang mengalir deras pada lembah
curam nan menakutkan.
Akupun juga baru
membuka mata yang terlelap dalam hitungan detik saja, terlelap oleh
bayang-bayang semu yang tak pernah lelah menghantui, sebuah bayangan yang aku
harap akan menjadi nyata tapi tak kunjung tiba, sesosok perempuan mungil dan
manis yang tak aku ketahui lagi tentang keberadaannya, perempuan yang menjadi
sebab atas akibat ketidak perdulianku dalam menata hidup demi impian masa depan
yang lebih cerah, perempuan yang terkadang membuatku kuat kadang pula membuatku
lemah dan terkadang pula membuatku lapuh dan rapuh, seperti belalang-belalang
kecil yang terhempas angin dipertengahan musim kemarau, terpental dan
terseok-seok,
“Pagi yang sendu
berselimut awan sedikit pekat”, gumamku
Sembari membereskan lembaran-lembaran
kertas yang tak sempat aku rapikan sebelum aku terlelap tidur.
Seperti biasanya, aku
awali pagiku dengan mencicipi kopi panas buatan ibu, aku reguk beberapa kali
sebelum aku menikmati satu batang rokok yang membuatku sedikit lebih tenang
meskipun pada dasarnya hati tidak sedang ingin berdamai.
diwaktu yang bersamaan,
teman dekat sekalgus tetangga menghampiriku.
“Woy masih pagi sudah
bengong”. Sentak Umar mengagetkanku.
“Gimana katanya kamu
sudah diterima di perguruan tinggi, kapan kamu akan kuliah?” Umar melanjutkan
sapaanya dengan bertanya tentang studiku.
“Minggu depan sudah
ORDIK (orientasi pendidikan)”. jawabku singkat,
sembari menikmati setiap
hisapan yang menghasilkan asap putih bertebaran di depan mata, sesekali ku
reguk dengan kopi hitam yang ada di tengah-tengah antara aku dan umar.
Setidaknya aku selalu berusaha untuk berkontribusi dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi nasional meskipun sekedar membeli dan menghabiskan produk rokok dalam
negeri yang tentunya dikenakan wajib pajak.
“Wow hebat, sebentar
lagi kamu akan jadi anak kampus yah, semoga kamu bisa memulai hidup barumu
disana, melupakan mantanmu dan melupakan masa lalumu itu”. Tangkas umar,
Aku terdiam mendengar
perkataan umar, aku mulai ingat tentang semuanya. Tentang masa lalu yang
mengeksploitasi fikiranku, bayang-bayang yang masih saja datang di sela-sela waktu
membuat aku semakin rapuh, entah sampai kapan akupun tidak tahu.
“Ingat, hidupmu tidak
akan berhenti sampai disini, perjalanan masih panjang, masih terlalu banyak
hal-hal yang perlu kamu lakukan, karna hidup ini masih koma (,) belum titik
(.)” saran umar,
Lagi-lagi aku terdiam
mendengar perkataan umar, seorang teman
dekat yang tak henti-hentinya memberikan saran dan motivasi supaya aku bisa
menjalani sebuah kehidupan yang lebih baik.
Aku yang sampai detik
ini masih kebingungan menginterpretasikan makna sebuah kehidupan di dalam pusaran
globalisasi dan modernisasi, sebuah ketakutan tentang esensi kehidupan yang
dihasilkan dari kontemplasi panjang yang cukup pelik untuk ditafsirkan dan
tidak sembarang orang bisa mengerti apa lagi memahami, hidup yang termaktub
dalam takdir tuhan sejatinya bisa dirubah oleh semua insan yakni dengan
berusaha dan berikhtiar. Tapi hal itu tidak dengan hidupku.
#Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar